Baca Koran: Play to Not Lose



Teringat kembali tulisan Pak Prof. Rhenald Kasali di Jawa Pos kemarin, edisi  14 Agustus 2013 di rubrik Perspektif. Menarik untuk diulas kembali, tentang "Play to Not Lose". Kalau bahasan tentang "Play to Win" sudah sering dibahas dan diseminarkan oleh motivator-motivator handal atau bisa kita saksikan di acara-acara sport seperti sepak bola.

Kembali ke koran tadi, beliau lebih tertarik membahas “play to not lose” yang justru banyak memerangkap pengusaha-pengusaha Indonesia sehari-hari. Kita berpikir itu cara terbaik, tetapi sebenarnya membuat kita sekedar ada dan gagal menarik keberuntungan. Tidak terbang kemana-mana, persis seperti sebagian peserta apprentice Asia yang memerankan lakon  "cari aman".

Karakter “play to not lose” ini ada di banyak pelajar Indonesia yang sekedar tampil apa adanya, sekolah agar sekadar tidak drop out. Tidak mau gagal, tapi juga tidak terpanggil menjadi pemain utama. Dalam bisnis ada pada anak orang berada yang sekadar punya, nice to have. Punya usaha, tapi tidak berani  dibuat menjadi besar. Terperangkap dalam “Failure Avoidant Trap”.

Prof. Rhenald Kasali, PhD
Kira-kira kita masuk kelas mana ya? tak perlu dijawab. Kembali ke koran lagi, untuk jelasnya kita lihat kasus arloji Swiss yang menjadi Harvard Business Case dalam  teori-teori persaingan atau Strategic Competition dan Cluster. Anda tentu masih ingat, pada tahun 1960-an lebih dari separuh jam tangan yang dibeli penduduk dunia berlabel made in Swiss. Anda bisa menanyakan hal ini pada orangtua-orangtua.

Tetapi pada tahun 1970-an situasi berubah. Muncul teknologi LED dengan pemain-pemain baru: Citizen (Jepang) dan Timex (Belanda). Serangan itu membuat penjualan jam-jam tangan “Made in Swizerland” turun, market share-nya tinggal 15%.

Apa reaksi produsen Swiss? Ya, seperti biasa mereka mengambil langkah “play to not lose” dengan membanting harga, melakukan PHK ber-beran dan beralih ke jam-jam mahal (luxury).

Tetapi yang menarik perhatian saya, kejadian itu justru memicu gerakan lain yang datang dari orang-orang yang “out of the box”. Itulah gerakan yang membuat Swiss bangkit kembali melalui merek-merek yang fancy dan  fashionable: Swatch, Longines, dan Tissot.

Orang-orang yang baru ini dicatat Bronson dan Merryman (2013) sebagai The Top Dog. Ketika semua pelaku lama “Focus on the odds” dengan pola pikir inside the box mereka justru membentuk perusahaan-perusahaan baru, merekrut pegawai-pegawai baru di lokasi yang berbeda dengan pola pikir yang sama sekali baru. Persis seperti strategi General Motor yang mendirikan pabrik mobil Saturn untuk menghadapi mobil-mobil murah buatan jepang di tahun 1990-an.  Saturn dibuat di luar Detroit agar tak terkontaminasi logika mobil Amerika.

Top Dog mengambil resiko dengan membuat model bisnis yang sama sekali baru dan keluar dari tradisi Swiss Watch yang klasik dan mahal. Ini berbeda dengan strategi berbasiskan karakter play to not lose yang bertendensi menghindari resiko. Fokus mereka adalah membatasi atau mengurangi kerugian, bukan  keluar sebagai pemenang.

Saya pikir “kelakuan” bisnis seperti ini ada di banyak pikiran kita, yang bertindak reaktif “inside the box” ketika menghadapi serangan-serangan dari pendatang baru. Ketimbang meningkatkan investasi dengan bermain dalam rule of the game yang baru, kita justru mempertahankan keuntungan lama (protect profit) dan stick with with what we know.
    
Itulah strategi berbasiskan karakter play to not lose. Waspadailah, karena dengan cara itu usaha Anda tak akan bergerak kemana-mana. Anda hanya berdoa agar new entrance segera tersungkur dan pergi. Nyatanya mereka hanya tambah kuat, sedangkan pasar Anda yang lama terus tergerus. Itulah renungan pasca lebaran, sebuah era baru yang makin kaya persaingan. Kata pepatah,   "It's not whether you win or lose. It's how you play the game."

Semoga bermanfaat untuk Anda dan saya. Bagi  "pemain lama" atau "pemain baru" yang sedang semangat-semangatnya mengembangkan "permainannya", mari berdoa bersama. Semoga sukses :)

Previous
Next Post »
Thanks for your comment